Site icon Berita Jateng Terkini

Desa Kajen Menjadi Gambaran Islam dan Kebudayaan

Santri Masjid Kajen Pati

RAJIN: Sejumlah santri sedang mengaji di Masjid Kajen. (ISTIMEWA)

PATI, Lingkarjateng.co.id – Di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati Islam dan kebudayaan mampu berakulturasi. Padahal, Desa Kajen notabene merupakan desa yang terkenal dengan kawasan santri, yang memiliki lebih dari 50 pondok pesantren.

Muhammad Zuli Rizal, penggagas Jelajah Pusaka Kajen mengungkapkan, Desa Kajen meskipun memiliki kawasan yang sangat kecil, namun memiliki nilai historis sejarah yang sangat panjang. “Tentunya di Kajen sendiri ada semacam suatu yang istimewa. Tanah banyak kalangan orang yang berdarah biru,” ungkapnya.

Baca Juga :
Air Asin dari Sumur Bor Tidak Layak Konsumsi

Selanjutnya, bukti yang menggambarkan bahwa islam dan kebudayan mampu berakulturasi adalah banyak situs dan cagar budaya peninggalan tokoh-tokoh besar jaman dulu yang berada di Desa Kajen. Salah satunya Mbah Muttamakin.

“Mbah muttamakin itu punya ajaran dalam arti kata tarekat-tarekat beliau itu terpahat di ukiran yang ada di masjid Kajen,” imbuhnya.

Menurutnya, Masjid Kajen menjadi salah satu bukti bahwa Islam dan Budaya di Kajen mampu berdampingan. Di masjid tersebut, banyak terdapat ornamen-ornamen yang melukiskan kebudayaan Jawa kuno. Seperti naga, burung, huruf Pegon itu di ukir di atas mimbar masjid itu dan papan bersurat di depan imaman.

Masjid Desa Kajen Akulturasi Islam dan Kebudayaan

“Itu adalah salah satu manifestasi suatu karya luar biasa bahwa Jawa dan Islam itu bisa diakulturasikan dan contohnya di masjid Kajen yang sudah berdiri sekitar 300 tahun yang lalu. Kalau menurut dari mas milal bizawi tahun 1695,” jelasnya.

Desa Kajen juga banyak menyimpan manuskrip-manuskrip kuno. Salah satunya peninggalan Mbah Ahmat muttamakin Kajen. Manuskrip tersebut dapat menggambarkan bagaiman dakwah Islam menggunakan menggunakan adat kebudayaan Jawa.

Baca Juga :
Penderita TBC di Grobogan Capai 1.100 Kasus

Selain itu, masyarakat Desa Kajen sampai sekarang juga masih mempertahankan kegiatan setiap tanggal 10 suro. Dari mulai para kyai sampai masyarakat awam bersatu padu memeriahkan tradisi tersebut.

“Dan masih banyak sekali, seperti kayak tradisi manganan. Kalau punya nadzar itu biasanya orang-orang di Kajen itu semacam membuat Ingkung yang diantarkan ke makam itu dimakan oleh anak-anak pondok, orang ngaji di sarean. Akhirnya ya malah menjadi nilai shadaqah yang luar biasa,” pungkasnya. (lam/dim)

Exit mobile version