Dampak Pandemi, Pedagang Batik Pekalongan Kurangi Karyawan hingga Tutup Toko

Pedagang menata pakaian batik di Pasar Batik Setono, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (5/5/2021).(ANTARA/LINGKAR)
Pedagang menata pakaian batik di Pasar Batik Setono, Pekalongan, Jawa Tengah, Rabu (5/5/2021).(ANTARA/LINGKAR)

PEKALONGAN, Lingkarjateng.co.id – Pandemi covid-19 yang berkepanjangan saat ini menjadi tantangan terbesar bagi sektor perekonomian. Salah satunya dirasakan oleh pedagang pedagang batik khas Pekalongan di Jawa Tengah.

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Grosir Batik Setono Rozakon mengatakan, saat in pedagang batik Pekalongan harus mengurangi karyawan dan menutup toko. Itu dilakukan untuk memangkas biaya operasional, serta beralih teknik pemasaran dari konvensional menjadi daring.

Baca Juga:
UKM Mampu Bertahan Tanpa Kurangi Karyawan

“Kondisi ini semakin parah dengan kebijakan larangan mudik mulai 6-17 Mei 2021 sehingga kian berdampak terhadap penurunan omzet usaha. Pandemi selama lebih dari setahun memaksa kami untuk bertahan. Strategi kami mengurangi karyawan, menutup sementara toko, dan menjual secara online,” kata Rozakon.

 Rozakon mengatakan, penurunan omzet pedagang batik mencapai 50 persen selama pandemi akibat pembatasan orang-orang berpergian ke luar kota. Sebelum pandemi, mereka bisa meraup penghasilan sekitar Rp100 juta sampai Rp200 juta per bulan. Kini berkisar Rp80 juta sampai Rp150 juta saja setiap bulan.

 Berdasarkan pantauan di lapangan, suasana Pasar Grosir Batik Setono tampak lengang. Kawasan parkiran pasar yang berada dekat pintu keluar Tol Batang-Pekalongan juga terlihat sepi.

Baca Juga:
Revitalisasi Destinasi Wisata Pekalongan

 “Sekarang penjual batik generasi muda mulai kelola kios. Mereka memfoto batik, lalu posting ke media sosial ataupun aplikasi e-commerce yang membuat batik bisa laku terjual,” kata Rozakon.

Baru 20 Persen UKM Manfaatkan Teknologi Digital

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy menyampaikan tidak semua usaha lokal mampu menggunakan teknologi digital apalagi UKM. Data dari total seluruh UMKM di Indonesia, lanjut dia, baru sekitar 20 persen UKM yang menggunakan atau mengoptimalkan teknologi digital.

“Berangkat dari sini salah satu poin evaluasi pemerintah. Yaitu mendorong industri lokal untuk adaptif terhadap penggunaan teknologi digital dan meningkatkan daya saing industri lokal,” kata Rendy.

 Dia mengungkapkan beberapa masalah klasik masih membayangi industri lokal di hulu, seperti pembiayaan, pemasaran, hingga kemudahan dalam mendapatkan bahan baku. Hal itu masih akan menjadi tantangan yang perlu dijawab pemerintah terutama dalam konteks bersaing dengan produk impor luar negeri.(ara/lut) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *